MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI NILAI ETIK AGAMA, Sebuah Upaya Menjawab de-religionisasi dalam Masyarakat Modern


Masayarakt modern

Tema sentral kehidupan manusia dewasa ini adalah soal modernitas. Pandangan-pandamngansosiologis banyak merumuskan tema ini.sebagian merumuskannya sebagai hasil dari konsep-konsep yang diturunkan dari mekanisme dunia pasar atau lazim diebut kapitalisasi. Dalam dimensi ini modernitas dimaknai sebagai nilai-nilai utama orientasi konsumsi (ekonomi) dan kekuasaan (politik).
Berbeda dengan rumusan di atas, modernitas dalam pandangan kaum weberian dimaknai sebagai proses rasionalisasi, kapitalisasi lahir dari ide-ide dimaksud, akal dalam pandangan weberian dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tam paknya rumusan ini menjadi tolak ukur penting dari seluruh gerak social kehidupan manusia dan kebudayaannya. Dari ide-ide atau gagasan-gagasan arasional inilah gerak menuju ekon omi berorientasi pasar (industri) dan penyatuan ke dalam kapitalis global (globalisasi) dimulai.
Pada aspek yg lbh jauh, rasionalisme tidak bisa tidak masuk pada ramnah mencari identitas ide yang terstruktur. Ia memaksa masuk pada wilayah-wilayah trans epistimologi,idiologi,budaya dan bahkan agama. Dalam pengertian kapling epistimologi yang bagaimanapun, idiologi dan budaya manapun termasuk agama bila berdiri sebagai antitesis rasionalitas harus di jebol paksa untuk mendapatkan tujuan-tujuannya. paham yang melunturkan sakralitas ketuhanan dan metafisika. Eksisitensi tuhan,wahyu,dan segala yang melekat pada frame absolutisme dan sakralitas secara perlahan namun pasti dipukul mundur (untuk tidak dikatakan “berdamai”) ke terpi kesadaran manusia. An sich, dalam upaya pencapain tujuannya,menghalalkan segala cara secara membabi buta menembus batas-pbatas norma etika dan agama sekalipun.
Rasionalisme-dengan paradigma positifisme dan empirisnya secara singkat keteika bersenggama dengan realitas institusi bangsa-bangsa menjelma menjadi faham sekularisme. Faham produk modernitas yang memukul mundur agama dari wilayah social individu dan masyarakat dalam system. Dalam kancah pertarungan idiologi dunia sekularisme telah berhasilmemberi jarak antara agama dan Negara. Di Barat agama bertarung hebat dengan sains yang dianggapnya belenggu kemanusian.dus agama sebagai Institusi, seperti gereja misalnya pada era renaisence abad XIV-XVI di Itali, German, Inggris dan Prancis dituntut keras untuk me-reinterpretasi doktrin katolikisme tentang pembuangan uang dan arti bunga bank.Agama dalam konteks ini “dipaksa dengan hormat” untuk tidak memberi jalan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengatur gerak ekonomi nya sendiri tanpa intervensi paus pada Negara-negara mereka sendiri, sekaligus semngat kuat mengotonomisasi ilmu dari posisi sebelumnya yang absolute dan dogmatic.

Sekularisasi dan de-religionisasi
Sekularisasi dalam paradigma berfikir positivistic selain merupakan kemestian sejarah dalam masyarakt bangsa yang rasional juga harus dilihat dalam paradigma empiric. Bagaimana tidak, sekularisasi dalam pengertian demikian berpengaruh besar pada eksistensi kemanusian, dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi akan menyebabkan peranan agama tereduksi dalam proses-proses pengambilan keputusan masyarakat, baik ekonomi, politik dan sebagainya. Proses sekularisasi juga dapat dilihat dalam bidang politik misalnya, logika untuk tujuan-tujuan tertentu seringkali abai terhadap pertimbangan nilai etik agama.contoh lain dapat dilihat dari system ekonomi yang “kurus” dari pertimbangan maslahat ketimbang untung rugi.pertimbangan penghormatan terhadap hak asasi individu yang engalahkan hak asasi manusia sebagai mayoritas, dari maslaah perkawinan lintas agama,pornohgrafi,sek bebas prostitusi hingga lokalisasi.
Krisis peran dan fungsi agama dapat di lihat dari menguatnya semangat pemberontakan ataerhadap bangunan agama (institusionalized) yang dinilai menjadi penghalang gai eksistensi kemanusiaan. Harus di akui bahwa dalam agama terdapat aspek-aspek konservatif yang memberikan rasa kesucian terhadap tradisi dan keberlangsungannya. Karenanya agama seringkali bersikap menahan diri terhadap unsure-unsur sekularisme yang mungkin dinilai profane. Kalaupun rterdapat aspek-aspek lain dalam agama yang mendorong geliat transformasi perubahan namun tetap ada elemen-elemen tertentu dari agama yang selalu menjaga kemapanannya. Masalahnya menjadi rumit ketika sekularisme masuk ke dalam sisitem keyakinan individu-individu bangsa dalam relasinya sebagai makhluk beragama di satu sisi dan bagian dari Negara di sisio lain.
Ketika sekularisasi berhasil membungkus agama menjadi “hanya” paket-paket informasi, urusan agama adalah urusan pribadi dan bukan bagian kehidupan social, urusan agama adalah aurusan hari setelah kematian, atau bahkan agama dianggap menbjadi nilai-nilai suplementer dan seabreg muatan-muatan sekularisme lainnya maka sesungguhnya telah berlangsung proses objektivikasi dan rasionalisasi dalam dunia agama. Al-hasil,ruh agama semakin menghilang. Sebagai konsekuensinbya, secara sosiologis adaah bahwa kemajuan ekonomi,politik,soial dan budaya dapat di raih tapi kering dari nilai-nilai agama. Seorang boleh mangaku beragama tapi abai pada kewajiban keberagamaannya, mengamini seks bebas asal memakai kondom, menjadi ahli bidang agama tanpa menjadi religius, dan istilah lain yang serupa untuk menggambarkan de-religionisasi dalam kehidupan manusia.

Transformasi nilai etik humanisme agama
Realitas yang abu-abu di atassesungguhnya hanya tahapan ilustrasi dari persinggungan agama dengan modernitas. Yang menjadi tema sentral dari kondisi ini adalah mengamini modernitas sebagai kemestian tanpa harus mempertentangkannya dengan agama di sastu sisi sekaligus mempertegas posisi peran dan fungsi agama diranah modernitas yang terus berjalan. Pendekatan paradigma post modernisme nampaknya tidak cukup menyelesaikan persoalan mengingat sains dan teknologi berkutat pada respon agama terhadap dampak positif dan negatifnya.
Yang lebih penting adalah kembali melakuka rekonstruksi nilai-nilai etik agama untuki lebih menjadi pendorong modernitas tetapi juga menjadikan agama sebagai roh modernitas itu sendiri. Nampaknya pendekatan Post Paradigmatik lebih layak diptimbangkan kembali. Agama harus dibedah melalui kontektualisasi dinamisasi kehidupan manusia, dengan cara ini agama merespon semua problem social pemeluknya dan menampakkan dirinya sebagai kekeuatan tempat “berbagi”. Tanpa itu-agama yang selalu melangait- secara perlahan agama akan ditinggalkan untuk tidak dikatakan diacuhkan.
Agama, dengan pendekatan post Paradigmatik ini diupayakan dapat me-rekontruksi system nilai etik di dalamnya. Menariknya sedikit masuk pada wilayah-wilayah falsafah humanisme social yang dimiliki agama. Mengingat pertama, agama dapat mengintegrasikan sains dan teknologi tanpa harus menjadi antitesis, tak ada alas an bagi anusia untuk pobia terhadap rasionalisme dan positifisme yang akan mengarahkan manusia pada sekularitas, karena justru agama mampu menadopsi ilmu engetahuan dan teknologi tanpa harus mengalami kontradiksi.
Kedua, dalam struktur agama tidak di kenal dikotomi antara dimensi keduniaan dan dimensi akhirat, keduanya di integrasikan dalam dimensi keseimbangan, konsep di dalam agama bukan melulu teologi, sehingga karakter inklusifitas dalam beragama hanya akan membawa manusia semakin jauh dari pembumian nilai-nilai humanisme teosentris agama.
Tugas Agama berikutnya adlah mempertegas keberadaannya sebagai system keyakinan yang terbuka bagi penataan kehidupa social ,ekonomi, politik dan budaya. Menjadi panduan dus memberikan jawaban sekaligus. Agama harus mampu melakukan transformasi social dengan nilai-nilai etiknya dengan harapan agar manusia siap menghadapi semua bentuk tantangan modernitas yang terus berjalan.wallahua’lam.

Blog Archive