AGAMA DAN KONTEKSTUALISASI AJARAN DALAM KEBERAGAMAAN
(Sebuah Tinjauan Singkat Tentang Lemahnya Partisipasi Institusi Sosial Masyarakat
Bergama)

oleh: Khusni Mubarok Abdullah






Ketika membicarakan agama, akan terdapat dua pengertian yang penting. Agama sebagai doktrin dan ajaran di satu sisi, dan agama sebagai aktualisasi doktrin dan ajaran tersebut yang terdapat dalam sejarah kehidupan manusia di sisi yang lain. Sayyed Hossein Nasr membedakan dua pemahaman ini dengan Islam Ideal dan Islam Realita.[1]
Menurutnya, doktrin agama bersifat ideal yang menuntut penganutnya untuk mengamalkannya secara ideal pula, namun pada realisasinya seringkali jauh dari apa yang diharapkan.[2]
Inti keberagamaan adalah meyakini suatu dzat di luar diri manusia yang bersifat absolut. Di dalam diri manusia terdapat kesadaran akan kehadiran suatu kekuatan yang maha melampaui segala sesuatu yang menjadi sumber munculnya kedamaian, kegelisahan, keberanian, kegembiraan, kedamaian dan lain sebagainya.
Kesadaran demikian telah memunculkan banyak kepercayaan dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia. Kesadaran akan adanya kekuatan di luar diri manusia ini selain diyakini dapat memberikan ketenangan, kedamaian dan perlindungan, juga dapat memberikan petunjuk akan tata cara pengabdian pada kekuatan dimaksud. Kekuatan dan kebesaran dzat itu menjadi karakteristik absolut yang melekat hanya pada identitas ketuhanan yang maha Absolut.
Bimbingan dzat maha absolut itu di sebut ajaran (wahyu). Di dalamnya termuat ajaran tentang kebenaran dan kebaikan yang bersifat parsial maupun universal. Dalam hal ini terdapat kesamaan pandangan antar agama-agama dan menjadi karakteristik masing-masing agama tersebut, Islam dengan ajaran tauhid dan kemuliaan Tuhan, kristen dengan kasih sayang Tuhan, Konghucu dengan Peri-kemanusiaan, Hindu dengan perenungan dan Budha dengan kontemplasi.
Agama adalah suatu keinginan akan suatu cara hidup yang benar dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan tersebut merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang diyakini, sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya.
Sumber agama itu sendiri adalah kosmos dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari dunia metafisik itulah inti semua ajaran-ajaran agama. Dalam hal ini agama bersifat pribadi sekaigus universal. Dikatakan pribadi karena agama merupakan pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan umum (universal) hati manusia.
Doktrin-doktrin inti agama tidak saja terdapat dalam ajaran yang berhubungan dengan konsepsi humanitas tetapi juga yang bersifat teologis, doktriner dan akidah. Ketika memasuki ranah akidah, tentunya bagi pemeluk agama-agama tersebut tidak akan melakukan tawar menawar. Misalnya, Islam memandang tauhid adalah doktrin terpenting dalam akidah; konsep tauhid perspektif Islam tersebut, pada kenyataannya menolak adanya kemusyrikan tuhan dengan yang lain; tuhan tidak beranak dan diperanakkan; tuhan tidak pula terbagi dari bilangan-bilangan atau bagian tertentu. Doktrin seperti ini tentu tidak dapat diterima oleh pemeluk Kristen, Yahudi, dan lainnya sebagai bagian imannya. Sebab keesaan tuhan memiliki keunikan dalam masing-masing agama.
Demikian pula, kepercayaan Trinitas yang diyakini oleh Kristen, tentunya tidak dapat diterima Islam, Budha dan lainnya. Konsep keimanan Trimurti dalam ajaran Hindu tentu tidak diakui dalam kepercayaan Islam, Kristen dan Yahudi dan begitulah selanjutnya.
Agama sebagai sistem budaya yang bersifat kognitif; mengandung unsur-unsur sub sistem pengetahuan (knowledge), keyakinan (belief), aturan (norms) dan nilai (values). Berdasarkan pengetahuan (knowledge) yang diperolehnya dari sumber kitab suci dan para tokoh agama, tumbuhlah kepercayaan atau keyakinan manusia terhadap dzat yang dianggap tuhan. Searah dengan makna ini, Weber menggambarkan agama sebagai fenomena yang rumit dan kompleks, yang dapat memenuhi beberapa fungsi sekaligus.[3]
Weber menggambarkan dimensi-dimensi agama sebagai berikut, yaitu : (1) dimensi kepercayaan atau keyakinan beragama disebut juga sebagai dimensi ideologi yang erat hubungannya secara spesifik dengan kelas sosial; (2) Dimensi Ritual berkaitan dengan praktek pelaksanaan agama; (3) dimensi pengalaman keagamaan, sebagai karakter agama yang suci dan kramat; (4) dimensi pengetahuan yang berkaitan dengan keberadaan fakta-fakta agama. Para penganut suatu agama akan mengetahui lebih banyak tentang agamanya, melalui dimensi pengetahuan (knowledge); (5) dimensi konsekuensi beragama, yang oleh Parson disebut dengan sistem kepribadian dan sistem prilaku.[4]
Orang yang taat beragama, adalah orang yang berperilaku sesuai sistem budaya dan komitmen terhadap ajaran agama yang dianutnya sesuai taraf pengetahuan yang sederhana, masyarakat “primitif” misalnya harus memuja benda-benda alam dan memberikan persembahan sesuai hasil pemikirannya. Jadi dalam hal ini tetap ada sistem knowledge pada diri manusia untuk melakukan tindakan keagamaan.
Sistem keyakinan pada diri manusia adalah merupakan perasaan rahasia yang sangat dalam dan tidak bisa dicampuri oleh manusia lain, kecuali hati nuraninya sendiri. Timbulnya keyakinan dalam diri seseorang terhadap sesuatu dzat yang mungkin dia sendiri belum pernah melihatnya, adalah merupakan hak asasi bagi setiap orang.
Keyakinan atau percaya dengan yakin dalam kehidupan beragama adalah penerimaan suatu ide (gagasan) secara khusus dengan sikap lebih mendalam, serta tidak membutuhkan formulasi pemikiran. Dengan demikian percaya atau yakin adalah perasaan yang sangat kuat pada diri manusia, bahwa ada kekuatan luar biasa di alam raya yang berada di luar dirinya.[5]
Agama juga memberikan sumbangan pengetahuan tentang aturan dan nilai-nilai kehidupan yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan baik dan buruk, dilarang atau dibolehkan dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Pada dasarnya semua agama adalah benar menurut model masing-masing, semuanya memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia, meskipun dengan cara yang berbeda-beda.[6] Berbeda dengan Karl Marx yang memandang eksistensi suatu agama hanya sebagai “candu” bagi masyarakat yang tertindas dan teraniaya dalam mempertahankan hidupnya dari keserakahan kaum borjuis. Konsep ini jelas bertentangan dengan perspektif. Durkheim yang memandang agama sebagai potensi untuk menciptakan integrasi, solidaritas, dan perubahan sosial.
Lepas dari perdebatan ideologis di atas, di satu sisi agama berdasarkan sejarahnya merupakan masalah sosial, karenamenyangkut kehidupan manusia yang tidak bisa terlepas dari kajian-kajian sosial. Dalam konteks inilah Emile Durkheim menggambarkan bahwa agama merupakan sumber aspirasi manusia yang paling dalam, sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi, agama menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentuk sosial yang mempunyai arti penting.[7]
Sempitnya wawasan pengetahuan hakikat makna agama, kurangnya pengertian dan kesadaran akan makna perbedaan sebagai hukum alam (sunatullah) dapat menimbulkan konflik antara pemeluk agama, atau penganut faham intern umat beragama yang hanya akan menodai citra agama yang mengajarkan manusia untuk hidup rukun dan lapang dada dalam perbedaan agama dan budaya sebagai keniscayaan sejarah.[8] Konflik adalah suatu pertentangan yang timbul dalam masyarakat, baik individu maupun kelompok, karena adanya perbedaan cara pandang, adanya perbedaan kepentingan yang pasti karena adanya perbedaan latar belakang sosial budaya : berbeda latar belakang pengetahuan, keyakinan, norma, dan nilai-nilai yang dianutnya.
Perbedaan sesungguhnya tidak harus selalu menimbulkan pertentangan, jika masing-masing pihak yang merasa berbeda memiliki wawasan yang luas, cara berpikir yang jernih serta niat yang lurus tanpa pretensi apalagi prasangka buruk. Seperti dijelaskan oleh Horton bahwa perspektif konflik memusatkan perhatian dan perbedaan, ketegangan dan perubahan yang dipaksakan dan dipertahankan oleh masing-masing pihak untuk memperoleh keuntungan.[9]
Dalam artikel klasiknya berjudul “Agama sebagai Sistem Budaya” Geertz meyakinkan bahwa hakikat agama adalah sistem aggasan yang bersifat kognitif dan esensial bagi kehidupan manusia. Geertz mendefinisikan agama dengan berbagai istilah sesuai fungsi agama yang mengandung simbol-simbol pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai sosial budaya. Itu sebabnya dalam konsep Geertz, agama juga merupakan sistem simbol yang mengandung makna spiritual yang sakral. Geertz memandang bahwa tidak ada integrasi yang baik pada kebudayaan maupun tingkat sosial, kecuali dengan pendekatan agama sebagai sistem budaya.[10]
Untuk menuju persamaan persepsi dalam kerukunan antar pemeluk agama yang berbeda, maka kesadaran akan kebenaran agama yang dianut dan kewajiban untuk menghargai kebenaran agama dalam perspektif pemeluk lain harus dirumuskan bersama. Di Indonesia, pengakuan akan pluralitas agama dan kebebasan memeluk agama telah diatur dalam UUD 1945 pasal 29. hal ini mengindikasikan bahwa untuk kebebasan memeluk agama dan toleransi antarumat beragama telah menjadi maslaah nasional. Belakangan, sekitar tahun 1992, seluruh lembaga-lembaga agama di Indonesia, Majlis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) membangun aktivitas bersama untuk mendukung program menegakkan keharmonisan hubungan antar agama dalam komunitas masyarakat beragama yang pluralistik.[11]
Semangat bersama akan perlunya upaya dalam membangun kerukunan antarumat beragama di Indonesia belakangan mengalami peningkatan cukup signifikan. Hal ini bisa dilihat dari maraknya kegiatan dialog-dialog antaragama di daerah-daerah. Setidaknya, fenomena ini membuktikan bahwa respon terhadap masalah kerukunan beragama untuk menuju hari depan yang lebih baik bagi kelangsungan hidup bernegara semakin meningkat.
Langkah strategis untuk masa depan adalah membangun rasa saling memahmi, kerjasama, dan berapresiasi antar pemeluk agama. Untuk membangun toleransi beragama yang harmonis ini diperlukan peran aktif seluruh elemen bangsa tanpa memandang perbedaan keyakinan masing-masing, tak terkecuali keterlibatan masyarakat sendiri dalam wadah yang memungkinkan untuk berpartisipasi seperti dengan berperan aktif melalui Partai Politik (Parpol), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi-organisasi massa lainnya (Ormas) dan aktifitas sosial lainnya.
Agama memiliki dua sisi yang kontradiktif, di satu sisi agama mengajarkan umat manusia untuk saling mengasihi, agama telah banyak menjadikan manusia mengerti arti dan tujuan hidupnya. Namun di sisi yang lain, dalam perjalanan sejarahnya, agama seringkali dijadikan alat pembasmian komunitas manusia yang lain dan saling menghancurkan, ia diperlakukan sebagai legitimasi kekerasan antar agama lain, sehingga konflik sosial kerap kali bernuansa agama. Nilai-nilai kasih sayang agama menjadi kabur.
Pesan moral sosial dan individual, nilai-nilai keyakinan transendental ritus-ritus universal kandungan masing-masing agama, dan kebutuhan mutlak manusia akan kedamaian, ketenangan, kesejahteraan, kesatuan dan persatuan, sudah semestinya merangsang kesadaran semua fihak manusia beragama akan pentingnya kerjasama antara mereka, berupaya bersama berperan aktif dalam memelihara kerukunan antarumat berbeda agama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.
Dari uraian di atas ditegaskan bahwa agama memiliki potensi integratif yang dapat dirumuskan pada tataran sosial, bangunan rumusan itu dapat ditemukan dalam semua gerakan sosial yang diupayakan ke arah penyatuan visi akan pentingnya kerukunan dalam perbedaan dan saling menghormati perbedaan-perbedaan keyakinan masing-masing pemeluk agama, pada tataran implementatif toleransi beragama memiliki aturannya sendiri yaitu dengan tidak saling menganggu satu sama pemeluk lainnya.[12]
Keadaan demikian dianggap perlu mengingat perbedaan keyakinan terhadap sesuatu yang sakral itu bertemu dalam dimensi kehidupan sosial manusia, maka diperlukan usaha semua penganut agama untuk bersama-sama memelihara kerukunan antarumat beragama untuk hidup berdampingan di tengah perbedaan dimaksud dengan keadaan dan ruang yang ada, baik melalui organisasi maupun lembaga sosial lainnya yang tersedia.


referensi tambahan :



[1] Lihat Sayyed Hossein Nasr dalam Islam Cita dan Islam Fakta, (Jakarta : Yayasan Obor, 1984), hlm. 1-3
[2] Nurcholish Madjid membedakan dua pengertian ini dengan istilah Doktrin dan Peradaban Islam. Doktrin adalah Islam yang terdiri dari seperangkat ajaran ideal dalam bentuk wahyu yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang kemudian dihimpun dalam Al-Qur’an. sedangkan Islam Peradaban adalahIslam yang diamalkan oleh para pemeluknya yang memiliki sifat historis, yakni pengalaman-pengalaman yang menyejarah dalam kehidupan umat manusia. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
[3] Bryan S. Turner, Menggugat sosiologi Sekuler, Studi Analisis Atas Sosiologi Weber, (Yogyakarta : Suluh Press,2005), hlm.29
[4] Max Weber, Sosiologi Agama, Cetakan II, (Jogjakarta, Ircisod : 1962), hlm. 56-58
[5] William Howells, Penyembahan Berhala Orang Primitif dan Agamanya, New York : The American Museum of Natural History, 962. hlm. 24
[6] Emile Durkheim, The Elemntary Forms Of Religious Life, New York, The Fre Press, 1995, hlm. 2.
[7] Thomas F, O’dea, Sosiologi Agama (Jakarta : CV. Rajawali, 1966), hlm. 3
[8] Syafi’I Ma’arif, Islam, Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 110.
[9] B. Paul Horton, Sosiologi, alih bahasa Amirudin Ram dan Tita Sobari, (Jakarta : penerbit Erlangga, 1996), hlm. 19
[10] Clifford Geert, The Interpretation of Cultures, (New York : Inc, Publishers : 1975), hlm. 17
[11] Burhanudin Daya, Agama Dialogis, Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, (Yogyakarta : LKiS, 2004), hlm. 240
[12] Ibid, hlm. 93

No comments:

Post a Comment

tidak ada paling bijak selain meminta saran dan kritik. di sini, media komuniukasiilmu kita bangun.terima kasih.

Blog Archive